Anak Jalanan dan Pembangunan Manusia

Oleh: Rizky Ridho Pratomo (Dept. Think-tank)

Sebuah negara pasti memiliki kelompok sosial beragam. Mulai dari kelompok mapan, kemudian menengah keatas, menengah kebawah, dan miskin atau fakir. Kelompok miskin dapat dikelompokan sebagai PMKS. Dalam Permensos No. 8 Tahun 2012, PMKS adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan/atau masyarakat yang karena suatu hambatan, kesulitan, atau gangguan, tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya, sehingga tidak dapat terpenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmani, rohani,  maupun sosial secara memadai dan wajar.

            Dari definisi Permensos ini, ada 26 jenis PMKS dengan kriteria yang telah ditentukan; ada korban bencana, lansia, komunitas adat terpencil, keluarga bermasalah sosial psikologis, pengemis, gelandangan, anak jalanan, dan lain-lain. Penulis memfokuskan untuk kelompok PMKS dari anak jalanan selaku individu yang berada di jalanan untuk mencari nafkah dan sebagian besar kegiatannya dihabiskan di area jalanan.

            Mengapa anak jalanan mengalami kendala menjalankan fungsi sosialnya dan ekonominya? Fakta yang ada memperlihatkan secara jasmani anak jalanan merupakan anak yang sebenarnya berada dalam masa pertumbuhan. Tetapi yang membedakan adalah keluarganya mengalami disfungsi sosial dan pendidikan sehingga pertumbuhannya jasmani, rohani, dan spiritual tidak maksimal telah disebabkan ketidakacuhan keluarga terhadap pendidikan anak dan keadaan ekonomi keluarga carut-marut. Keterperukan ekonomi mendasari anak jalanan untuk mencari nafkah hanya sekedar memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

            Dalam perspektif pembangunan manusia, pemberdayaan anak jalanan sangat penting jika negara ingin maju. Artikel sebelumnya (back-link punya Esa) memberikan perspektif baik bahwa pemberdayaan PMKS termasuk dalam praksis asas pembangunan berdasarkan pancasila, terutama sila kelima. Dengan demikian, sudah semestinya pembangunan harus merata, termasuk pembangunan manusia. Dari pengamatan penulis, anak jalanan kebanyakan masih berusia antara 5-18 tahun yang sebenarnya sangat krusial karena di masa inilah kepribadiannya dibentuk. 

Pemerintah kota telah menggagas beragam solusi untuk mengentaskan masalah anak jalanan ini. Namun, solusi yang ditawarkan masih dalam kerangka bagaimana anak jalanan dapat menjalankan fungsi ekonominya dan hanya mengembalikan mereka kepada keluarga. Pendekatan ini masih kurang tepat kalau melihat dari segi penyebab seorang anak lebih banyak beraktivitas di jalanan. Selain itu, pendekatan ekonomi kurang tepat, karena sama saja anak diajarkan sejak dini untuk menjadi buruh. Ini melupakan aspek paling penting dalam pembangunan manusia, yakni etika, moral dan akhlak.

            Pentingnya aspek etika-moral dan akhlak ini dibahas oleh S.D.Darmono. Dalam bukunya, “Bringing Civilization Together”, pembangunan peradaban harus didasarkan pada fondasi etika-moral dan akhlak. Dia memberikan contoh konkrit bagaimana peradaban tanpa etika hancur ditelan zaman. Misalnya Fir’aun yang menganggap dirinya sebagai Tuhan dan pada akhirnya kerajaannya hancur. Kekhalifahan Islam juga mengalami kejatuhannya karena pemimpin tiap daerah lebih mementingkan ego sektoral daripada kepentingan bersama. Bahkan, ketika masih dilanda perang Salib, justru kekhalifahan Islam bergerak sendiri-sendiri dan bersikap skeptis karena persaingan antar daerah.

            Tulisan Darmono menempatkan fondasi etika-moral dan akhlak sebagai landasan pembangunan peradaban manusia. Etika-moral dan akhlak berperan sebagai kompas abadi yang menuntun kita dalam bersikap dan berbuat. Terlebih, manusia hidup saling bergantung dengan yang lainnya sehingga memperlakukan orang lain dengan baik dan adil, bertindak dan berkata jujur, serta mengedepankan kolaborasi menjadi penting bagi pembangunan peradaban. Artinya, peradaban yang mengacu pada etika-moral dan akhlak sebagai dasarnya, maka dipastikan mereka akan maju.

            Perspektif ini memberi kita gambaran bahwa penyelesaian anak jalanan sebaiknya juga dilakukan dengan pendekatan etika, moral dan akhlak. Pendekatan berbasis ekonomi memang memberikan solusi berupa adanya pendapatan, keahlian, dan kompetensi. Tetapi, ketiga hal tersebut akan sia-sia jika tidak memiliki kepribadian yang tepat dan matang di zaman ini.  Pendekatan ekonomi justru akan membuat mereka menjadi lebih bersikap materialistik dan melupakan fondasi etika, moral dan akhlak mereka.

            Pendekatan berbasiskan ekonomi tidak akan membuat pembangunan kota menjadi berkualitas. Jika semua anak jalanan diberdayakan dan mendapatkan pekerjaan, memang rasio pendapatan perkapita sebuah kota akan meningkat. Tetapi, peningkatannya hanya berupa kuantitas bukan kualitas. Peningkatan rasio angka masih dipandang penting sebagai indikator maju atau tidaknya suatu kota. Padahal, dasar pembangunan manusia adalah peningkatan dalam semua aspek: spiritual, fisik, maupun mental.

            Faktor pembangunan berbasiskan ekonomi memang penting tetapi penanaman etika-moral dan akhlak juga tidak kalah pentingnya. Pelatihan dalam program orang tua asuh yang saat ini dilakukan, harus juga mencakup pendidikan etika-moral dan akhlak. Tidak hanya diajarkan sebagai kurikulum semata, namun bagaimana praktik dalam kehidupan sehari-hari. Etika-moral dan akhlak adalah fondasi yang membuat sebuah peradaban sukses; fondasi yang membuat manusia menjadi pribadi yang berkualitas dan menjadi makhluk yang beradab. Harus ada keseimbangan antara pendekatan ekonomi serta etika-moral dan akhlak supaya anak jalanan tidak hanya memiliki keahlian dan kompetensi, namun juga kepribadian yang beretika, berakhlak, dan berilmu.  

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *